26 Nov 2012

POD: Semua Berhak Menjadi Penulis

Setiap warga kini berhak menjadi penulis dan menerbitkan bukunya sendiri. Sesuka-sukanya. Beberapa langkah lagi ke depan kita sudah tak mendengar lagi keluhan banyak orang bagaimana sulitnya membawa buku ke penerbit dan menunggu sekian lama untuk bisa melihat sosok “anak ruhani” itu. Teknologi percetakan telah membuka gerbang perayaan itu.
Teknik cetak “Print On Demand” (POD)—sebuah inovasi teknologi cetak digital (digital printing)—menenggang kita dari kutukan bahwa mencetak buku itu sulit. Disebut on demand karena hanya mencetak sesuai jumlah yang diminta. Mau cetak 100 eksemplar? Bisa. Cetak 50? Oke. Cetak 10? Tak masalah. Cetak sebiji? Siapa takut. Berapa pun jumlah cetakannya akan dilayani.
“Print On Demand” ini pertama kali didemonstrasikan perusahaan ingram/lighting print inc. pada pameran buku di Amerika sekira Juni 1998. Ingram menginduki anak perusahaan yang salah satunya adalah ingram book group yang ada di La Vergne, Tennessee. Anak perusahaan ini kemudian menjadi distributor terbesar untuk printer dan buku-buku on demand di Amerika. Mereka telah melayani lima ribu penerbit yang tersebar di seluruh dunia dan sudah mencetak lebih dari 41 ribu buku. (Widjanarko, 2001)
POD muncul awalnya hanya digunakan untuk mencetak poster dalam format besar dan jumlah sedikit. Ini tak bisa dilakukan dengan menggunakan mesin printer biasa yang lebar kertasnya terbatas. Namun lama-kelamaan beberapa perpustakaan universitas di Amerika mulai menggunakan POD untuk memperbarui beberapa koleksi buku tua yang mulai uzur. Buku-buku itu difoto kemudian dicetak. Sebelumnya, mereka sangat kesulitan untuk meregenerasi koleksi-koleksi itu. Keberadaan POD sangat membantu karena memungkinkan untuk mencetak dalam jumlah kecil sesuai kebutuhan.
Dengan sistem POD ini, proses cetak menjadi lebih mudah dan praktis. Jika dengan sistem cetak konvensional ada serangkaian ritual yang mesti dilalui naskah sebelum dicetak, dengan POD semua itu tak diperlukan lagi.
Tak usah memotret naskah halaman demi halaman, mengeplatnya pada baja/besi, lalu mencetaknya lembar demi lembar. Jalur rumit itu terpangkas habis dengan POD. Cukup siapkan saja naskah yang sudah tertata halaman dan ukuran kertasnya. Kemudian simpan dalam format PDF. Lalu cetak dengan bantuan komputer dan printer kualitas tinggi. Beri sampul, jilid, jadi. Sangat praktis dan efisien. Hemat biaya produksi dan hemat waktu pengerjaan.
Keuntungan lain dari POD adalah jika ada kesalahan yang baru diketahui di detik-detik terakhir, tak perlu risau, karena masih bisa diperbaiki tanpa biaya apa pun. Hal seperti ini jika dilakukan pada sistem cetak konvensional akan cukup menyulitkan. Karena sedikit saja perubahan berarti harus melakukan foto ulang dan membuat plat cetak baru. Itu berarti mengulur waktu dan menambah biaya produksi.
Dengan POD, biaya produksi bisa ditekan semurah mungkin. Di Percetakan Kanisius Jogja, misalnya, harga yang ditawarkan 20 ribu untuk 200 halaman. Angka ini terhitung murah untuk produksi dalam jumlah tiras kecil. Coba bandingkan dengan ketika Anda harus membayar sekira 20 juta untuk buku 200-an halaman di percetakan konvensional karena memakai kelipatan 1000 eksemplar. Gawatnya, semua biaya itu belum tentu balik modal karena buku terkena kutukan pasar: tak laku.
Menurut saya, inovasi POD sangat menguntungkan penerbit. Bayangkan saja, buku yang belum diketahui potensi pasarnya dapat dicetak dengan jumlah terbatas dulu. Jika pasar menerima dan buku itu laris, maka penerbit bisa mencetak dalam jumlah besar. Sedangkan buku-buku yang sudah dilempar ke pasaran dan mengalami cetak ulang, juga bisa dicetak sesuai permintaan pasar saja, tak perlu berlebih.
Jadi, penerbit tak perlu risau dengan kelebihan stok buku retur dari toko. Hal ini tak bisa dilakukan dengan sistem konvensional ketika buku dicetak dan dilempar ke pasaran secara gambling. Akibatnya, penerbit sering repot menambah gudang karena buku-buku yang tak terjual menggunung.
Keuntungan lain, penerbit bisa mencetak lebih banyak judul buku sehingga produksinya lebih variatif. Tak perlu khawatir buku akan menumpuk di gudang. Tinggal cetak saja dalam jumlah terbatas, sesuai permintaan. Kabar yang tentu menggembirakan bagi penerbit. Pun demikian bagi para pecinta buku, kutu buku. Semakin banyak buku diproduksi artinya semakin banyak ragam bacaan tersedia.
Keuntungan lain tentu saja kepada warga yang ingin menikmati rasanya memiliki buku yang ditulis sendiri. Sistem cetak POD memungkinkan naskah apa pun sekarang bisa diterbitkan menjadi buku. Misal, catatan harian yang remeh dan getir, atau kumpulan coretan puisi sentimentil, cerita guyonan, catatan reuni, kenangan pesta pernikahan, bahkan resep masakan keluarga. Apa saja, jika mau, bisa kok diterbitkan. Ketik saja dengan rapi, beri ilustrasi sampul, simpan dalam format PDF, bawa ke penyedia jasa POD, dan jadilah buku.
Artinya, sistem POD membuka pintu lebar-lebar bagi penulis untuk menentukan sendiri nasib tulisannya. Naskah yang sudah berkali-kali ditolak, yang membuat sakit hati dan “kesumat”, cetak saja sendiri. Lalu pasarkan sendiri juga dengan cara indie/mandiri. Titipkan ke bebebrapa pedagang atau toko buku. Kalau mau sedikit kreatif, bisa titipkan di tempat-tempat yang tak lazim, seperti cafĂ©, taxi, warnet, dan lain-lain. Atau pasarkan saja secara on line.
Tak perlu lagi bergantung pada penerbit yang sudah mapan. Penulis menjadi pemegang kendali utuh atas naskahnya. Mau diapakan dan dibagaimanakan, semua terserah si empunya buku. Penulis pun dapat mengontrol arus penjualan. Jadi tak perlu cemas dengan kebiasaan penerbit yang kerap tak jujur soal oplah buku terjual.
Demikian sederhana, mudah, dan murah. Inovasi teknik cetak yang membawa revolusi besar bagi dunia buku. Terutama sekali menjadi jalan baru bagi penulis dan penerbitan. (Diana AV Sasa)
*. Artikel ini di ambil dari www.indonesiabuku.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar