Dua puluh empat cerpen yang anda hadapi ini adalah hasil dari
serangkaian kerja keras. Tidak hanya kerja penulisnya sendiri, tetapi
juga tim pendamping yang tidak hanya memantau perkembangan
proses, tetapi juga dengan intens melakukan pembacaan dan diskusi.
Adalah SARKEM (Sanggar Kreativitas Manusia) yang
menginisiasi proyek ini. Mulanya, SARKEM membayangkan bahwa
apa yang sebenarnya lebih dekat pada praktik artist talk, dan
disebutnya workshop itu bisa dengan mudah dilewati dengan hasil
yang dibayangkan maksimal: terkumpul sejumlah cerpen sebanyak
peserta yang terlibat dalam kondisi siap terbit.
Saya bersama Mas Herry Mardiyanto dari Balai Bahasa
Yogyakarta, diberi jadwal untuk bertemu pada setiap hari minggu,
selama empat kali, dan setiap kali pertemuan selama 3 jam, dari
jam 9 sampai 12. Pertemuan itu terjadi di Yayasan Indonesia Buku,
di Patehan Wetan, belakang Kraton Yogyakarta. Dibayangkan, dari
jumlah pertemuan itu, setiap peserta bisa melahirkan sebuah karya,
sebuah cerita pendek. Menghadapi sekitar dua puluh empat remaja,
ada yang masih SMA, ada mahasiswa semester awal, sedikit yang
sudah pernah menulis, banyak yang baru pertama kali mencoba,
menyudutkan target terkumpulnya cerpen yang siap diterbitkan di
ujung proses itu berantakan.
Workshop sebagai sebuah praktik belajar sambil bekerja, tentu
saja tidak berjalan dalam waktu pertemuan sepanjang 3 jam. Yang
terjadi selalu saja sebuah cerita pengalaman menulis, lebih tepatnya
artist talk. Percakapan yang dimunculkan sebagai studi kasus yang
muncul dari peserta tak bisa secara praktis dicangkokkan pada kasus
peserta yang lain, oleh peserta sendiri. Imajinasi hermeneutik, yang
suka cangkok-mencangkok gejala pada akhirnya tidak mungkin
dengan serta-merta dipraktikan oleh peserta.
iv
Begitulah pemandangan awal dari proyek itu berlangsung.
Pemandangan berikutnya adalah bagaimana kisruh-nya
peserta menerapkan tata-aturan tulis. Banyak orang mengabaikan
ejaan ini dalam praktik menulis. Dan hampir semua peserta, memang
melalaikannya. Bahkan menggunakan huruf kapital di awal kalimat
saja banyak yang menabraknya. Tanda koma sering tidak dihadirkan.
Tanda titik mangkir dari teks sehingga kalimat yang sesungguhnya
sudah selesai menjadi bersambung dengan kalimat berikutnya. Itulah
pemandangan yang muncul ketika di pertemuan kedua peserta dipaksa
untuk mengumpulkan tulisan atau cerpen karyanya.
Terlihat betapa ejaan belum dipahami sebagai sebuah sistem
kode, yang membuat potensi sebuah teks literer bisa diaktualisasikan
oleh pembaca. Ada kecurigaan bahwa penulis yang mengabaikan
tata ejaan ini membayangkan bahwa dirinya masih berada di samping
teks hasil inskripsinya, yang setiap saat bisa dirujuk untuk memberi
keterangan. Dengan demikian, teks literer bukan dibayangkan sebagai
sesuatu yang terlepas dari waktu, berjarak, atau bahkan bukan bagian
dari diri penulisnya lagi, yang notabene justru itulah hakikat dari teks
literer: terpisah dari penulisnya dan sepenuhnya bergantung pada
sistem kode penyusunannya. Tulisanlah yang abadi. Begitu maklumat
Pointus Pilatus menjelang penyaliban Nabi Isa, ketika ia berujar: apa
yang aku tulis akan tetap tertulis.
Pemandangan berikutnya adalah problematika menjaraki
kenyataan empiris. Cerpen yang diharapkan berbau warna lokal
Yogyakarta, terjebak dalam kebimbangan identifikasi. Yogyakarta
dalam waktu adalah Yogyakarta masa lalu, kini, juga harapan masa
depan. Yogyakarta dalam materialitas adalah obyek yang terbentang
hampir seluas daerah administratif provinsi DIY. Yogyakarta sebagai
peta-mental, barangkali adalah karakter budaya. Tetapi bagaimana
jika karakter itu juga dimiliki oleh orang-orang Ponorogo yang masih
terus mengaku sebagai trah prajurit Diponegaran? Dan dihadapkan
kepada waktu, haruskah Yogyakarta dihentikan sebagai ideologi atau
diledakkan sebagai utopia?
Dalam cerpen Ngajiman, misalnya. Pertemuan dua generasi
telah menabrakan dua cara pandang berbeda terhadap eksistensi
Kasultanan. Ngajiman yang tua memandang penuh taklid pada
v
kasultanan, tetapi aku naratif yang muda toh melihatnya dengan praktis;
apa yang bisa dibuat oleh kerajaan Mataram itu bagi segi hidupnya?
Di sinilah yang saya maksudkan dari yang ideologis dan yang utopis
didiskusikan.
Pada sisi yang lain, pengalaman menjadi mahasiswi di
Yogyakarta, tinggal di sebuah rumah kost bersama mahasiswi yang lain,
toh menumbuhkan kecurigaan pada sesama teman kost. Kecurigaan
bahwa teman kost itu telah berprofesi sebagai ayam kampus tak
bisa dielakkan. Problemnya, bolehkah kecurigaan negatif ini disusun
sebagai bagian dari warna lokal?
Problem-problem tekstual itu masih ditambah lagi dengan
kemampuan deskripsi yang mentah ketika teks merujuk pada tandatanda
atau gejala-gejala yang sifatnya ostensif: gejala yang memang
bisa dirujuk di dalam kenyataan. Semisal, Alun-alun Kidul, Maliboro,
gudeg wijilan, dll. Rujukan-rujukan ini memang kadang butuh deskripsi
yang pekat seandainya ia bersangkut-paut dengan plot. Kadang cukup
disebut sambil lalu jika ia hanya sesuatu yang cenderung bersifat
artifisial. Seperti misalnya, dalam cerpan Insaf, pemandangan kampung
di sekitar alun-alun tampak kurang meyakinkan padahal kondisi itu
yang membentuk karakter tokoh.
Tetapi, lepas dari itu semua, hal yang membanggakan adalah
ke-dua puluh empat cerpen ini akhirnya tersaji untuk bisa kita baca
bersama. Bukan hal mudah melakukan strukturasi pengalaman.
Kesediaan mereka-reka atau memfiksikan sebuah kasus menjadi
sejarah kasus, adalah kesediaan untuk menuntaskan sebuah diskusi
atas sebuah wacana. Entah dengan nalar deduksi, induksi atau
abduksi dalam percakapannya—yang mungkin itu bisa ditelisik sebagai
ekspresi politis.
Dan yang sangat penting, memutuskan bahwa sebuah cerita
diakhiri, dengan membubuhkan tanda titik di akhir tulisan, adalah wujud
dari sebuah praktik hidup yang diawali dengan perencanaan, diorganisasi
untuk dijadikan wujud, dan diakhir dengan keberhasilan menyelesaikan
seluruh cita-cita. Tak ada keinginan atau harapan yang bisa hadir
tanpa adanya gagasan, perencanaan, dan upaya pewujudannya untuk
mendapatkan hasil akhir yang diinginkan. Tampaknya, inilah yang paling
sangat berharga. Dan penghargaan ini, sesungguhnya, adalah milik
vi
dari teman-teman (para aktivis Sarkem) yang dengan sabar melakukan
sharing dengan peserta untuk hasil terakhir ini, karena sesungguhnya
workshop yang sebenarnya—sebuah kerja learning by doing—adalah
yang dilakukan para pendamping, bukan oleh saya yang datang dan
bercerita tentang pengalaman menulis.
|