DiandraCreative.com - Call Me At 085728xxxxx
Kategori : Novel
| |||
ISBN | : | 978-602-19081-5-0 | |
Penulis | : | Kumpulan Penulis | |
Penerbit | : | As-Sarkem & Diandra Creative | |
Tanggal Terbit | : | 2012-11-25 | |
Jumlah Halaman | : | 150 | |
Berat Buku | : | 400 gr | |
Kertas | : | 14 x 20 cm | |
Harga | : | Rp. 35.000,00 | |
Anda harus login untuk melakukan transaksi | |||
Sinopsis | |||
Dua puluh empat cerpen yang anda hadapi ini adalah hasil dari
serangkaian kerja keras. Tidak hanya kerja penulisnya sendiri, tetapi juga tim pendamping yang tidak hanya memantau perkembangan proses, tetapi juga dengan intens melakukan pembacaan dan diskusi. Adalah SARKEM (Sanggar Kreativitas Manusia) yang menginisiasi proyek ini. Mulanya, SARKEM membayangkan bahwa apa yang sebenarnya lebih dekat pada praktik artist talk, dan disebutnya workshop itu bisa dengan mudah dilewati dengan hasil yang dibayangkan maksimal: terkumpul sejumlah cerpen sebanyak peserta yang terlibat dalam kondisi siap terbit. Saya bersama Mas Herry Mardiyanto dari Balai Bahasa Yogyakarta, diberi jadwal untuk bertemu pada setiap hari minggu, selama empat kali, dan setiap kali pertemuan selama 3 jam, dari jam 9 sampai 12. Pertemuan itu terjadi di Yayasan Indonesia Buku, di Patehan Wetan, belakang Kraton Yogyakarta. Dibayangkan, dari jumlah pertemuan itu, setiap peserta bisa melahirkan sebuah karya, sebuah cerita pendek. Menghadapi sekitar dua puluh empat remaja, ada yang masih SMA, ada mahasiswa semester awal, sedikit yang sudah pernah menulis, banyak yang baru pertama kali mencoba, menyudutkan target terkumpulnya cerpen yang siap diterbitkan di ujung proses itu berantakan. Workshop sebagai sebuah praktik belajar sambil bekerja, tentu saja tidak berjalan dalam waktu pertemuan sepanjang 3 jam. Yang terjadi selalu saja sebuah cerita pengalaman menulis, lebih tepatnya artist talk. Percakapan yang dimunculkan sebagai studi kasus yang muncul dari peserta tak bisa secara praktis dicangkokkan pada kasus peserta yang lain, oleh peserta sendiri. Imajinasi hermeneutik, yang suka cangkok-mencangkok gejala pada akhirnya tidak mungkin dengan serta-merta dipraktikan oleh peserta. iv Begitulah pemandangan awal dari proyek itu berlangsung. Pemandangan berikutnya adalah bagaimana kisruh-nya peserta menerapkan tata-aturan tulis. Banyak orang mengabaikan ejaan ini dalam praktik menulis. Dan hampir semua peserta, memang melalaikannya. Bahkan menggunakan huruf kapital di awal kalimat saja banyak yang menabraknya. Tanda koma sering tidak dihadirkan. Tanda titik mangkir dari teks sehingga kalimat yang sesungguhnya sudah selesai menjadi bersambung dengan kalimat berikutnya. Itulah pemandangan yang muncul ketika di pertemuan kedua peserta dipaksa untuk mengumpulkan tulisan atau cerpen karyanya. Terlihat betapa ejaan belum dipahami sebagai sebuah sistem kode, yang membuat potensi sebuah teks literer bisa diaktualisasikan oleh pembaca. Ada kecurigaan bahwa penulis yang mengabaikan tata ejaan ini membayangkan bahwa dirinya masih berada di samping teks hasil inskripsinya, yang setiap saat bisa dirujuk untuk memberi keterangan. Dengan demikian, teks literer bukan dibayangkan sebagai sesuatu yang terlepas dari waktu, berjarak, atau bahkan bukan bagian dari diri penulisnya lagi, yang notabene justru itulah hakikat dari teks literer: terpisah dari penulisnya dan sepenuhnya bergantung pada sistem kode penyusunannya. Tulisanlah yang abadi. Begitu maklumat Pointus Pilatus menjelang penyaliban Nabi Isa, ketika ia berujar: apa yang aku tulis akan tetap tertulis. Pemandangan berikutnya adalah problematika menjaraki kenyataan empiris. Cerpen yang diharapkan berbau warna lokal Yogyakarta, terjebak dalam kebimbangan identifikasi. Yogyakarta dalam waktu adalah Yogyakarta masa lalu, kini, juga harapan masa depan. Yogyakarta dalam materialitas adalah obyek yang terbentang hampir seluas daerah administratif provinsi DIY. Yogyakarta sebagai peta-mental, barangkali adalah karakter budaya. Tetapi bagaimana jika karakter itu juga dimiliki oleh orang-orang Ponorogo yang masih terus mengaku sebagai trah prajurit Diponegaran? Dan dihadapkan kepada waktu, haruskah Yogyakarta dihentikan sebagai ideologi atau diledakkan sebagai utopia? Dalam cerpen Ngajiman, misalnya. Pertemuan dua generasi telah menabrakan dua cara pandang berbeda terhadap eksistensi Kasultanan. Ngajiman yang tua memandang penuh taklid pada v kasultanan, tetapi aku naratif yang muda toh melihatnya dengan praktis; apa yang bisa dibuat oleh kerajaan Mataram itu bagi segi hidupnya? Di sinilah yang saya maksudkan dari yang ideologis dan yang utopis didiskusikan. Pada sisi yang lain, pengalaman menjadi mahasiswi di Yogyakarta, tinggal di sebuah rumah kost bersama mahasiswi yang lain, toh menumbuhkan kecurigaan pada sesama teman kost. Kecurigaan bahwa teman kost itu telah berprofesi sebagai ayam kampus tak bisa dielakkan. Problemnya, bolehkah kecurigaan negatif ini disusun sebagai bagian dari warna lokal? Problem-problem tekstual itu masih ditambah lagi dengan kemampuan deskripsi yang mentah ketika teks merujuk pada tandatanda atau gejala-gejala yang sifatnya ostensif: gejala yang memang bisa dirujuk di dalam kenyataan. Semisal, Alun-alun Kidul, Maliboro, gudeg wijilan, dll. Rujukan-rujukan ini memang kadang butuh deskripsi yang pekat seandainya ia bersangkut-paut dengan plot. Kadang cukup disebut sambil lalu jika ia hanya sesuatu yang cenderung bersifat artifisial. Seperti misalnya, dalam cerpan Insaf, pemandangan kampung di sekitar alun-alun tampak kurang meyakinkan padahal kondisi itu yang membentuk karakter tokoh. Tetapi, lepas dari itu semua, hal yang membanggakan adalah ke-dua puluh empat cerpen ini akhirnya tersaji untuk bisa kita baca bersama. Bukan hal mudah melakukan strukturasi pengalaman. Kesediaan mereka-reka atau memfiksikan sebuah kasus menjadi sejarah kasus, adalah kesediaan untuk menuntaskan sebuah diskusi atas sebuah wacana. Entah dengan nalar deduksi, induksi atau abduksi dalam percakapannya—yang mungkin itu bisa ditelisik sebagai ekspresi politis. Dan yang sangat penting, memutuskan bahwa sebuah cerita diakhiri, dengan membubuhkan tanda titik di akhir tulisan, adalah wujud dari sebuah praktik hidup yang diawali dengan perencanaan, diorganisasi untuk dijadikan wujud, dan diakhir dengan keberhasilan menyelesaikan seluruh cita-cita. Tak ada keinginan atau harapan yang bisa hadir tanpa adanya gagasan, perencanaan, dan upaya pewujudannya untuk mendapatkan hasil akhir yang diinginkan. Tampaknya, inilah yang paling sangat berharga. Dan penghargaan ini, sesungguhnya, adalah milik vi dari teman-teman (para aktivis Sarkem) yang dengan sabar melakukan sharing dengan peserta untuk hasil terakhir ini, karena sesungguhnya workshop yang sebenarnya—sebuah kerja learning by doing—adalah yang dilakukan para pendamping, bukan oleh saya yang datang dan bercerita tentang pengalaman menulis. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar